ikatan perantau aceh in malaya

ikatan perantau aceh in malaya
story of aceh

Monday, July 26, 2010

Fragile archipelago

Indonesia secrete

The Acheh Times is best viewed by:

ASNLF meminta kepada HDC untuk membawa ke Jenewa 26 orang pemimpin rakyat dari berbagai lapisan dan golongan, termasuk yang tidak begitu sehaluan dengan perjuangannya; tapi sangat disayangkan RI hanya membenarkan 6 orang.

Perundingan Jenewa & propaganda RI

Langkah damai lebih duluan dirusak

WASHINGTON D.C., 19 Nov, 2002 (AT) —— Akhir-akhir ini lancar sekali para petinggi RI menuduh ASNLF menunda-nunda penandatanganan perjanjian penghentian permusuhan dan kekerasan sebagaimana telah dipersetujui dalam Joint Statement yang telah ditandatangani kedua belah pihak di Jenewa pada 10 May yang lalu. Pimpinan ASNLF dan HDC telah berjumpa, Senin tanggal 18 November, di Stockholm guna melakukan diskusi dalam rangka membicarakan proses dialog yang sedang berlangsung antara ASNLF dan Pemerintah Republik Indonesia (RI). Oleh karna pentingnya masyarakat mengetahui keadaan yang sebenarnya, maka AIC telah menginterview beberapa perserta pertemuan ASNLF dengan 6 orang wakil masyarakat sipil Acheh tanggal 30-31 October yang lalu di Jenewa.

'Tidak pernah ada keputusan dari ASNLF dan HDC tentang tanggal penandatanganan apa yang dinamakan dengan "persetujuan damai" sebagaimana yang diumumkan berulang kali oleh para pejabat tinggi RI.'

'Bagi bangsa Acheh tidak mungkin "berunding sambil berperang, berperang sambil berunding'

r. Zaini Abdullah menyebutkan pertemuan tersebut sangat bermanfaat dan disetujui bahwa semua pihak akan berkerja keras guna menyelesaikan persoalan-persoalan yang menjadi kendala dalam penandatanganan Persetujuan Penghentikan Permusuhan dan kekerasan (agreement for ending hostilities and violence) di Acheh. Dan apabila persoalan-persoalan yang menjadi kendala ini berhasil diselesaikan, maka Persetujuan akan segera ditandatangani kapan saja sesudah bulan Ramadhan berakhir. Pimpinan ASNLF dan HDC kemudian sepakat untuk melakukan pertemuan lanjutan tanggal 9 Desember 2002 untuk melihat apakah persoalan-persoalan tersebut telah benar benar diselesaikan, dan kemudian menentukan tanggal yang pasti untuk
penandatanganan Persetujuan Penghentian Permusuhan dan Kekerasan di Acheh secara resmi", sebagaimana disyaratkan oleh draft persetujuan tersebut bahwa akan disampaikan kepada publik, saat penandatanganan.

Para pimpinan ASNLF menggunakan kesempatan ini untuk menegaskan bahwa tidak pernah ada keputusan dari ASNLF dan HDC tentang tanggal penandatanganan apa yang dinamakan dengan "persetujuan damai" sebagaimana yang diumumkan berulang kali oleh para pejabat tinggi RI. Dan kenyataannya, persetujuan demikian memang sama sekali belum terwujud, dan ASNLF tidak pernah menyatakan menerima paket otonomi yang ditawarkan RI, sebagaimana dilaporkan secara luas oleh Pers Indonesia. Sekali lagi, ASNLF menyatakan memegang teguh dengan penuh komitmen Joint Statement yang ditandatangani bersama di Jenewa, 10 May 2002.

Acheh Incidents

View lists of Acheh victims

Menurut keterangan yang kami peroleh, pertama sekali kami tanyakan, mengapakah pihak ASNLF tidak memberi komentar tentang segala bentuk propaganda yang dilancarkan oleh pihak Pemerintah Indonesia, sipil maupun militer yang bermaksud menyalahkan pimpinan ASNLF di Stockholm yang seolah-olah "menunda-nunda proses damai" itu, jawabannya ialah karena ASNLF menghormati pensyaratan "confidentiality" (kerahasiaan) draf-draf perjanjian yang dikemukakan pihak Indonesia dan telah dijawab oleh pihak ASNLF, sebagaimana diharuskan oleh mediator, HDC.

Namun demikian, sebenarnya draf-draf itu bukan rahasia lagi, karena Teungku Imam Sujá, begitu tiba di Jakarta sekembalinya dari Jenewa telah membukanya kepada Jakarta Post. Sejak itu para petinggi Indonesia sendiri, dan beberapa media tertulis di Jakarta, telah membeberkan isi draf-draf perjanjian tersebut menurut versi mereka sendiri.

Kedudukan perkara yang sebenarnya yang kami peroleh dari wawancara kami itu adalah sbb:

Tidak pernah ada keputusan dari pihak HDC, pihak yang berwenang menentukan jadual sesuatu pertemuan antara pihak ASNLF dan RI. Bahwa tanggal-tanggal yang telah dilemparkan kesana-sini oleh berbagai pembesar Indonesia, sipil maupun militer, dan yang terakhir ini oleh Menko Polkam Susilo Bambang Yudhoyono sendiri di Tapak Tuan, seperti dikutip oleh Serambi: "Pemerintah mengusulkan penandatanganan itu tanggal 28 Oktober 2002, nampaknya belum dapat dilaksanakan. Pihak Indonesia bersedia mundur dan siap meneken 31 Oktober, kemudian mengalah lagi tanggal 4 November, sebelum Ramadhan. Belum bisa juga, lalu mengalah lagi, bagaimana kalau 1 Ramadhan, awal dari bulan suci. Tapi tawaran itu belum terjawab, tiba-tiba GAM memutuskan dan mengatakan bahwa penandatanganan itu kemungkinan besar akan dilaksanakan setelah Idul Fitri. "Kami sangat-sangat kecewa, draf telah dikonsultasikan berkali-kali, pertemuan telah berkali-kali, masyarakat telah siap. Tapi mengapa dengan alasan yang tidak jelas GAM memutuskan menunda penandatanganan perjanjian tersebut", adalah sepenuhnya kehendak pihak Indonesia sendiri yang tidak mempunyai alasan logis, karena tidak pernah ada konsultasi apalagi persetujuan ASNLF atau HDC berkenaan tanggal-tanggal rekaan sebelah pihak Indonesia itu.

Pihak ASNLF tetap berpegang teguh kepada isi perjanjian terkahir yang telah ditandatangani bersama di Jenewa tgl 10 May 2002, yang telah diumumkan oleh HDC dalam sebuah "Joint Statement". Perjanjian tersebut menentukan langkah-langkah selanjutnya (The Next Steps) yang perlu ditempuh untuk menuju penyelesaian konflik.

Langkah pertama adalah supaya diadakannya dialog lanjutan untuk membicarakan mekanisme penghentian permusuhan dan kekerasan dalam waktu paling lambat 45 hari. Tetapi pihak Indonesia telah menunda-nunda dialog lanjutan tersebut hingga kini dengan alasan yang hanya pihak pemerintah RI sendiri yang tau. Sebaliknya, pihak RI telah meminta berbagai pertemuan duahala dengan HDC tanpa dihadiri oleh pihak ASNLF, sebagaimana diakui sendiri oleh Mr. Susilo Bambang Yudhoyono dalam pernyataannya yang panjang lebar di Tapan Tuan itu. Jelas sekali bahwa pihak Indonesia tidak bermaksud mematuhi perjanjian 10 May 2002 yang telah ditandatanganinya dan berusaha keras untuk memaksa pihak mediator merubah cara perundingan, dengan menyampaikan usul-usul tertulis sesuai dengan kehendaknya sendiri. Kami telah diberitahu bahwa pihak ASNLF menerima baik draf-draf tersebut sebagai dokumen bahan dialog yang akan diadakan sebagaimana ditetapkan dalam Joint Statement itu.

Menko Polkam Susilo Bambang Yudhoyono menyebutkan penyampaian 11 kali draf perjanjian. Namun menurut keterangan yang kami peroleh pihak ASNLF hanya menerima 4 kali saja. Dikatakan bahwa sebahagian besar isi draf tersebut telah disetujui oleh ASNLF. Namun ada beberapa hal yang krusial yang minta diubah oleh ASNLF tetapi masih tidak disetujui RI. Nampaknya RI ingin mendikte term-term perjanjian menurut kehendaknya saja.

Sesuai dengan Deklarasi Stavanger yang berisi perkembangan struktural perjuangan kemerdekaan Acheh, dalam mana salah satu ketentuannya adalah penekanan sistem pemerintahan Negara Acheh pada anutan sistem demokrasi, maka ASNLF telah membuat komitmen yang jelas dan tegas untuk meminta pendapat sebanyak mungkin wakil-wakil berbagai elemen masyarakat Acheh bagi setiap keputusan yang akan diambilnya yang menyangkut masa depan bangsa Acheh. Oleh karena itu ASNLF meminta jasa baik HDC untuk memfasilitasikan perjumpaannya dengan elemen-elemen masyarakat sipil Acheh. ASNLF meminta kepada HDC untuk membawa ke Jenewa 26 orang pemimpin rakyat dari berbagai lapisan dan golongan, termasuk yang tidak begitu sehaluan dengan perjuangannya. Setelah melalui berbagai rintangan dari pihak RI, pada akhirnya HDC berhasil mengadakan pertemuan tersebut di Jenewa pada tgl 30-31 Oktober yang lalu, walaupun sangat disayangkan Indonesia hanya membenarkan 6 orang saja datang ke pertermuan tersebut. Jadi meeting di Jenewa tgl 30-31 Oktober itu sama sekali tidak ada sangkut paut dengan pihak RI. Ia hanyalah pertemuan internal ASNLF dengan para pemimpin elemen-elemen masyarakat Acheh. Namun demikian pihak RI telah membuat heboh dengan berbagai andaian, seolah-oleh meeting tersebut adalah untuk ASNLF menandatangani "Perjanjian Damai", yang belum ujud lagi, karena jawaban ASNLF yang terakhir (untuk draf RI no. 4), masih belum diberi jawaban oleh pemerintah Indonesia.

Para pembesar RI, termasuk Menkopolkan Susilo Bambang Yudhoyono sendiri, mengakui adanya point-point yang menjadi keberatan bagi pihak ASNLF menerima. Jadi bagaimanakah mungkin pihak ASNLF menandatanganinya kalau keberatan-keberatan tersebut belum diselesaikan? Mengapa pihak RI tidak berani bersemuka dengan ASNLF di Jenewa bagi meluruskan perkara tersebut? Pihak ASNLF juga sangat tidak suka pada ultimatum yang telah dinyatakan oleh pihak RI yang merupakan satu point lagi sebagai penghalang proses damai: "Terima UU-NAD sebelum Ramadhan (sekarang sudah diundurkan hingga akhir Ramadhan) atau anda kami habiskan". Bagaimana proses perdamaian bisa berjalan baik dengan gertak-gertak arrogant seperti itu? Kami mendapat informasi bahwa pemimpin ASNLF, malik Mahmud, telah dengan jelas memberitahu pihak RI pada dialog tgl 9-10 May yang lalu di Jenewa, dengan disaksikan antara lain oleh General Zinni dari USA, bahwa bagi bangsa Acheh tidak mungkin "berunding sambil berperang, berperang sambil berunding". Pemerintah Indonesia mestilah, katanya, menetapkan pendiriannya, apakah hendak berunding dan menyelesaikan konflik secara damai, atau mau terus berperang.

Menkopolkam Susilo Bambang Yudhoyono menjelaskan juga di Tapak Tuan, sebagaimana diberitakan Serambi: "sidang kabinet pada hari Senin (tiga hari lalu) menyimpulkan bulan Ramadhan ini masih sangat memungkinkan untuk bisa dicapai perjanjian damai. Pemerintah Indonesia bergulat dan berjuang terus untuk mewujudkan perdamaian dan keamanan di Acheh". Sebagaimana komentar Serambi, kata-kata yang sungguh indah. Tetapi pada kenyataannya, pihak Indonesia telah menyambut pernyataan penghentian tembak-menembak sebilah pihak (unilateral ceasefire) oleh pihak TNA dengan melancarkan pengepungan besar-besaran dengan
menggunakan senjata berat, tank dan helikopter terhadap salah satu pangkalan TNA di Cot Trieng, Acheh Utara. Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Ryamizard Ryacudu menegaskan kepada wartawan seusai memberikan pengarahan kepada prajurit TNI di Kopassus Grup 2 Kandang Menjangan Surakarta, Selasa (12/11). "GAM cuma omong besar. Kekuatan pasukan Gerakan Acheh Merdeka (GAM) tidak ada seperseratus atau satu persen dari TNI. Kamu percaya mana, seperti juru bicara GAM Sofyan Daud yang mengaku seperti itu, tetapi buktinya minta berunding. Orang yang mau berunding segala macam, itu artinya sudah kepepet". Inilah yang dikatakan "berunding sambil berperang, berperang sambil berunding", yang tidak mungkin diterima ASNLF.

Menurut Serambi, Susilo Bambang Yudhoyono "bertanya deengan kata-kata indah dan tersusun rapi: Tidakkah pimpinan GAM merasakan bahwa teduh, nyaman, dan makmurnya Stockhlom, Swedia tidak sama dengan situasi Acheh sekarang ini. Kalaulah beliau mengerti, merasakan kecemasan, ketakutan dan penderitaan masyarakat Acheh, terutama pada malam hari, terlebih lagi di lokasi yang menjadi daerah operasi." Pertanyaaan ini dianggap sebagai sebuah penghinaaan oleh para pimpinan ASNLF, karena yang mengalami kesengsaraan hidup menurut mereka, adalah "bangsa kami, orangtua kami, abang kami, adik kami. Yang ketakutan itu adalah anak/isteri kami. "Susilo Bambang Yudhoyono mengakui bahwa "ketakutan dan penderitaan masyarakat Acheh, terutama pada malam hari, terlebih lagi di lokasi yang menjadi daerah operasi…" Kita sebenarnya ingin bertanya, siapakah yang mengadakan operasi di malam hari itu? Siapa yang melakukan keganasan terhadap rakyat sipil? Bandingkan saja puluhan ribu bangsa Acheh yang telah dibunun TNI/POLRI dengan jumlah combatant AGAM/TNA yang telah berhasil mereka habisi. Dalam pengepungan di Cot Trieng yang sudah berjalan dua minggu ini, tiada seorangpun anggota TNA yang terbunuh, belum diketahui berapa ramai orang kampung yang menjadi korban tembakan-tembakan roket membabibuta karena pihak PMI masih tidak dibenarkan masuk meninjau. Yang jelas puluhan ribu sudah jadi pengungsi di tanah air sendiri. Adalah suatu pelanggaran hukum perang dan adab kemanusiaan melarang pihak Palang Merah memberikan bantuan kepada korban pertempuran. Tetapi itulah hakikat "keprihatinan" pihak RI yang digambarkan dengan kata-kata yang begitu indah oleh Menkopolkam RI Susilo Bambang Yudhoyono.

No comments: